BIDANG PRIBADI BIMBINGAN DAN
KONSELING
1.
Mengembangkan
Diri (Ujub)
Waspadalah bila dalam hati kita terdapat sekecil pun
rasa ujub, karena ia termasuk berencana yang menghancurkan amal kebaikan. Ujub
berarti merasa dirinya sempurna lalu timbullah kebanggaan.
Karena ada perasaan seperti itu, maka ia tidak
henti-hentinya mengagumi dirinya sendiri, golongannya sendiri, atau kelompoknya
sendiri.
Rasulullah bersabda, “Ujub akan memakan amal-amal kebaikan laksanakan api memakan kayu
bakar”.
Ibnu Atha’ berkata, “adalah pangkal dari segala
kemaksiatan, kelengahan, dan kesenangan nafsu untuk merasa puas dengan
dirinya.”
Benarlah kata beliau itu, karena memang siapa saja
yang bangga atau puas dengan dirinya sendiri, dia akan buta dari
kelemahan-kelemahannya. Kapankah akan beruntung seseorang yang tidak mengetahui
kekurangan dan kelemahannya dirinya?
Sungguh Allah telah menggambarkan tentang akibat
dari membanggakan diri baik sombong ataupun ujub. Di antaranya adalah ketika
terjadinya perang Hunain, Allah Berfirman:
“Sesungguhnya
Allah telah menolong kamu (hai para mukmi) di medan peperangan yang banyak, dan
(ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena
banyaknhya jumlah (mu). Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat
kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu,
kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.”
Mereka terlalu percaya diri bahwa dengan jumlah yang
banyak akan menentukan kemenangan. Padahal sebenarnya hanya pertolongan Allah
lah yang menyebabkan mereka menang, namun karena sombong dan ujub mereka itulah
yang membatalkan Allah untuk menolong mereka. Dengan demikian berarti Allah
sangat benci kepada orang yang sombong ataupun ujub, meskipun ia adalah orang
Islam.
a.
Hakikat
Ujub
Imam
al-Ghazali berpendapat bahwa ujub adalah suatu sifat seseorang yang melihat
dirinya sendiri sebagai orang yang mulia karena nikmat-nikmat yang diperolehnya
serta berperasaan bahwa nikmat-nikmat tidak mungkin lenyap dari padanya. Dan ia
pula bahwa sang pemberi nikmat adalah Allah Ta’ala, yang berhak untuk
melestarikan maupun mencabut menikmatan yang telah diberikan kepadanya.
Seorang
yang menyadari nikmat Allah yang diberikan kepadanya, lalu ia takut kehilangan
nikmat itu, kemudian ia sangat menyenangi, dan selanjutnya ia bersyukur, maka
hal itu bukanlah disebut ujub. Sebab ia tidak pernah membanggakan dirinya,
namun ia justru membanggakan Allah sang pemberi kenikmatan, dan dengan
bersyukur berarti ia tidak pula kepada siapa yang memberi kenikmatan itu.
Dulu
ada seorang ahli ibadah, berwarna Wahab bin Munabbih. Ia telah beribadah selama
tujuh puluh tahun. Siang harinya senantiasa berpuasa, berbuka hanya setiap hari
sabtu saja. Suatu ketika ahli ibadah ini mempunyai keinginan. Lalu ia memohaon
kepada Allah. Akan tetapi hajatnya tidk terpenuhi seperti yang dimohonkannya.
Maka dia itu menyesal dan menhujat dirinya sendiri, “Wahai diriku, seandainya
kamu punya kebaikan, pasti akan dipenuhi keinginanmu, karena inilah disebabkan
oleh dosa dan kesalahanmu sendiri.”
Ujub
juga merupakan suatu perasaan bangga terhadap terdiri sendiri sembari
mengaku-ngaku bahwa dirinyalah yang berjasa terhadap pada suatu keberhasilan,
keberuntungan dan kebahagiaan lainnya.
b.
Bahaya
Ujub
Ujub
memang sangatlah berbahaya bagi diri sendiri, lebih-lebih bagi amal
kebaikannya. Dan yang paling bahaya, ujub dapat menjadi sebab dicabutnya
kenikmatan. Padahal kenikmatan bukanlah hanya harta benda, jabatan, kewibawaan,
dan lain-lain. Bahkan kesehatan, napas, dan nyawa juga merupakan kenikmatan
yang tiada tara.
Diceritakan
oleh sahabat Sya’bi, bahwa seorang di zamannya yang ketika berjalan saat
matahari terik tidak pernah kepanasan atau terkena sengatan matahari. Ia selalu
dipayungi ole awan dalam setiap perjalanannya. Kebetulan dibelakangnya ada
seorang yang mengetahuinya, dan ia pun ingin berjalan lebih dekat dengannya
agar ikut terpayungi oleh awan tersebut.
Namun
sayangnya, saat orang itu mendekat, di dalam hati orang yang memiliki
keistimewaan tadi berkata, “ ah tidak pantas manusia seperti kamu berjalan bersamaku,”
Tatkala
di persampingan jalan dua orang tersebut berpisah. Betapa terkejutnya ia,
karena awan yang selalu memayunginya berpindah memayungi orang yang berjalan
dibelakangnya tadi. Justru ia sekarang kepanasan.
Itulah
akibat ujub, kenikmatan selalui dipayungi awan hilang begitu saja hanya karena
sedikit ucapan hati membanggakan diri juga ditambah meremehkan orang lain.
Ujub
juga akan memperbodoh manusia. Ujub akan membuat manusia jadi malas dantak lagi
ingin berkembang.
Amatlah
tipis perbedaan antara ujub dengan rasa bangga yang biasa. Ujub dapat membawa
kita kepada meremehkan orang lain sehingga menolak nasihat yang diberikan oleh
orang terdekat sekalipun. Ujub dapat menggiring kita menjdai takkabur. Ujub
dapat membuat kita terlena seakan-akan hanya kita yang menyebabkan suatu
keberhasilan, padahal suatu keberhasilan, padahal suatu keberhasilan tidak akan
tercapai tanpa ada campur tangan orang lain. Yang lebih parah lagi, apabila
tidak mengakui akan kehendak Allah yang menjadi pokoknya.
Coba
kita renungi, seumpama kita bersifat ujub, kemidian keujuban kita diketahui
orang lain, lalu mereka terasa tersinggung dan mereka tidak lagi mau
bekerjasama, dan membantu kita, bahkan mereka sudah tidak sudi lagi untuk
sekedar menyapa saat berjumpa. Tentu rasa pesimis, rasa dikucilkan, rasa
diremehkan dan perasaan direndahkan lainnya.
Hal ini tentu bisa saja akan menyeret penderita ujub pada kemarahan,
dendam, dan keburukan-keburukan hati yang lain. Padahal sudah kita bahwa semua
jenis penyakit hati jelas akan berpengaruh pada jiwa bahkan raga pengidapnya.
c.
Mengobati
Ujub
Orang yang
bersifat ujub bukanlah suatu kebetulan yang tiba-tiba datang. Sifat ini
merupakan sebuah efek atau akibat dari kebodohan, kecongkakan, atau
ketidaksadaran akan kuasa Allah. Dia mungkin lupa bahwa di atas langit ada
langit lagi, dan lain sebagainya. Maka untuk mengobati penyakit yang satu ini
adalah denga jalan bertaubat memperdalam ilmu-ilmu agama. Karena ibarat padi,
semakin berisi maka akan semakin merunduk. Semakin orang berilmu maka ia akan
semakin merasa dirinya bodoh dan masih banyak yan belum ia ketahui.
Referensi :
El–Kaysi,
Ahmad Fathoni, 2011. Penyakit Hati dan Cara Mengobatinya .
Danurejen, Yogyakarta. PT BUKU SERU. (Halaman 130)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar