Laman

Senin, 07 Januari 2013

Artikel Bidang Pribadi (Mengembangkan Diri / Ujub)


BIDANG PRIBADI BIMBINGAN DAN KONSELING

1.      Mengembangkan Diri (Ujub)
Waspadalah bila dalam hati kita terdapat sekecil pun rasa ujub, karena ia termasuk berencana yang menghancurkan amal kebaikan. Ujub berarti merasa dirinya sempurna lalu timbullah kebanggaan.
Karena ada perasaan seperti itu, maka ia tidak henti-hentinya mengagumi dirinya sendiri, golongannya sendiri, atau kelompoknya sendiri.
Rasulullah bersabda, “Ujub akan memakan amal-amal kebaikan laksanakan api memakan kayu bakar”.
Ibnu Atha’ berkata, “adalah pangkal dari segala kemaksiatan, kelengahan, dan kesenangan nafsu untuk merasa puas dengan dirinya.”
Benarlah kata beliau itu, karena memang siapa saja yang bangga atau puas dengan dirinya sendiri, dia akan buta dari kelemahan-kelemahannya. Kapankah akan beruntung seseorang yang tidak mengetahui kekurangan dan kelemahannya dirinya?
Sungguh Allah telah menggambarkan tentang akibat dari membanggakan diri baik sombong ataupun ujub. Di antaranya adalah ketika terjadinya perang Hunain, Allah Berfirman:
Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukmi) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknhya jumlah (mu). Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.”
Mereka terlalu percaya diri bahwa dengan jumlah yang banyak akan menentukan kemenangan. Padahal sebenarnya hanya pertolongan Allah lah yang menyebabkan mereka menang, namun karena sombong dan ujub mereka itulah yang membatalkan Allah untuk menolong mereka. Dengan demikian berarti Allah sangat benci kepada orang yang sombong ataupun ujub, meskipun ia adalah orang Islam.

a.      Hakikat Ujub
Imam al-Ghazali berpendapat bahwa ujub adalah suatu sifat seseorang yang melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mulia karena nikmat-nikmat yang diperolehnya serta berperasaan bahwa nikmat-nikmat tidak mungkin lenyap dari padanya. Dan ia pula bahwa sang pemberi nikmat adalah Allah Ta’ala, yang berhak untuk melestarikan maupun mencabut menikmatan yang telah diberikan kepadanya.
Seorang yang menyadari nikmat Allah yang diberikan kepadanya, lalu ia takut kehilangan nikmat itu, kemudian ia sangat menyenangi, dan selanjutnya ia bersyukur, maka hal itu bukanlah disebut ujub. Sebab ia tidak pernah membanggakan dirinya, namun ia justru membanggakan Allah sang pemberi kenikmatan, dan dengan bersyukur berarti ia tidak pula kepada siapa yang memberi kenikmatan itu.
Dulu ada seorang ahli ibadah, berwarna Wahab bin Munabbih. Ia telah beribadah selama tujuh puluh tahun. Siang harinya senantiasa berpuasa, berbuka hanya setiap hari sabtu saja. Suatu ketika ahli ibadah ini mempunyai keinginan. Lalu ia memohaon kepada Allah. Akan tetapi hajatnya tidk terpenuhi seperti yang dimohonkannya. Maka dia itu menyesal dan menhujat dirinya sendiri, “Wahai diriku, seandainya kamu punya kebaikan, pasti akan dipenuhi keinginanmu, karena inilah disebabkan oleh dosa dan kesalahanmu sendiri.”
Ujub juga merupakan suatu perasaan bangga terhadap terdiri sendiri sembari mengaku-ngaku bahwa dirinyalah yang berjasa terhadap pada suatu keberhasilan, keberuntungan dan kebahagiaan lainnya.
b.      Bahaya Ujub
Ujub memang sangatlah berbahaya bagi diri sendiri, lebih-lebih bagi amal kebaikannya. Dan yang paling bahaya, ujub dapat menjadi sebab dicabutnya kenikmatan. Padahal kenikmatan bukanlah hanya harta benda, jabatan, kewibawaan, dan lain-lain. Bahkan kesehatan, napas, dan nyawa juga merupakan kenikmatan yang tiada tara.
Diceritakan oleh sahabat Sya’bi, bahwa seorang di zamannya yang ketika berjalan saat matahari terik tidak pernah kepanasan atau terkena sengatan matahari. Ia selalu dipayungi ole awan dalam setiap perjalanannya. Kebetulan dibelakangnya ada seorang yang mengetahuinya, dan ia pun ingin berjalan lebih dekat dengannya agar ikut terpayungi oleh awan tersebut.
Namun sayangnya, saat orang itu mendekat, di dalam hati orang yang memiliki keistimewaan tadi berkata, “ ah tidak pantas manusia seperti kamu berjalan bersamaku,”
Tatkala di persampingan jalan dua orang tersebut berpisah. Betapa terkejutnya ia, karena awan yang selalu memayunginya berpindah memayungi orang yang berjalan dibelakangnya tadi. Justru ia sekarang kepanasan.
Itulah akibat ujub, kenikmatan selalui dipayungi awan hilang begitu saja hanya karena sedikit ucapan hati membanggakan diri juga ditambah meremehkan orang lain.
Ujub juga akan memperbodoh manusia. Ujub akan membuat manusia jadi malas dantak lagi ingin berkembang.
Amatlah tipis perbedaan antara ujub dengan rasa bangga yang biasa. Ujub dapat membawa kita kepada meremehkan orang lain sehingga menolak nasihat yang diberikan oleh orang terdekat sekalipun. Ujub dapat menggiring kita menjdai takkabur. Ujub dapat membuat kita terlena seakan-akan hanya kita yang menyebabkan suatu keberhasilan, padahal suatu keberhasilan, padahal suatu keberhasilan tidak akan tercapai tanpa ada campur tangan orang lain. Yang lebih parah lagi, apabila tidak mengakui akan kehendak Allah yang menjadi pokoknya.
Coba kita renungi, seumpama kita bersifat ujub, kemidian keujuban kita diketahui orang lain, lalu mereka terasa tersinggung dan mereka tidak lagi mau bekerjasama, dan membantu kita, bahkan mereka sudah tidak sudi lagi untuk sekedar menyapa saat berjumpa. Tentu rasa pesimis, rasa dikucilkan, rasa diremehkan dan perasaan direndahkan lainnya.  Hal ini tentu bisa saja akan menyeret penderita ujub pada kemarahan, dendam, dan keburukan-keburukan hati yang lain. Padahal sudah kita bahwa semua jenis penyakit hati jelas akan berpengaruh pada jiwa bahkan raga pengidapnya.


c.       Mengobati Ujub
Orang yang bersifat ujub bukanlah suatu kebetulan yang tiba-tiba datang. Sifat ini merupakan sebuah efek atau akibat dari kebodohan, kecongkakan, atau ketidaksadaran akan kuasa Allah. Dia mungkin lupa bahwa di atas langit ada langit lagi, dan lain sebagainya. Maka untuk mengobati penyakit yang satu ini adalah denga jalan bertaubat memperdalam ilmu-ilmu agama. Karena ibarat padi, semakin berisi maka akan semakin merunduk. Semakin orang berilmu maka ia akan semakin merasa dirinya bodoh dan masih banyak yan belum ia ketahui.


 Referensi :
El–Kaysi, Ahmad Fathoni, 2011. Penyakit Hati dan Cara Mengobatinya .
      Danurejen, Yogyakarta. PT BUKU SERU. (Halaman 130)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar